Badal haji atau umroh adalah menggantikan proses pelaksanaan ibadah haji orang lain yang memang wajib berhaji namun tidak dapat melakukannya, termasuk bagi orang yang sudah meninggal dunia. Hal ini didasarkan dari salah satu keterangan hadits dari seorang wanita dari suku Juhainah bertanya pada Rasulullah SAW,
إِنَّ أُمِّي نَذَرَتْ أَنْ تَحُجَّ فَلَمْ تَحُجَّ حَتَّى مَاتَتْ، أَفَأَحُجُّ عَنْهَا؟ قَالَ: نَعَمْ حُجِّي عَنْهَا، أَرَأَيْتِ لَوْ كَانَ عَلَى أُمِّكِ دَيْنٌ أَكُنْتِ قَاضِيَةً؟ اقْضُوا اللَّهَ فَاللَّهُ أَحَقُّ بِالوَفَاءِ
Artinya: "Ibuku telah bernazar untuk haji tetapi ia meninggal dunia sebelum menunaikannya. Apakah aku boleh melakukan atas namanya?" Nabi SAW menjawab, "Boleh, berhajilah menggantikannya. Bagamana pendapatmu jika ibumu memiliki utang, bukankah kamu akan membayarnya? Bayarlah (utang) kepada Allah, karena Dia lebih berhak untuk dilunasi." (HR Bukhari dan An Nasa'i).
Badal haji untuk orang yang sudah meninggal dunia karena yang bersangkutan sudah memiliki kewajiban melaksanakan haji karena nazar atau telah berniat haji juga dilandasi dari hadits yang dikisahkan Ibnu Abbas RA. Ada seorang lelaki dari suku Khats'am mendatangi Rasulullah SAW dan berkata,
"Ayah saya sudah meninggal dunia dan ia mempunyai kewajiban haji, apakah aku menghajikannya?" Nabi SAW menjawab, "Bagaimana pendapatmu apabila ayahmu meninggalkan utang. Apakah engkau wajib membayarnya?" Orang itu menjawab, "Ya," Nabi SAW berkata, "Berhajilah engkau untuk ayahmu itu," (HR Ahmad dan An Nasa'i).
Berdasarkan keterangan hadits di atas, badal haji boleh dilakukan sebagai wujud untuk melunasi hutang atau harta. Demikian pula dipahami bahwa seorang wanita boleh mewakilkan haji untuk seorang lelaki dan begitu pun sebaliknya.
"Para ulama dari kalangan sahabat dan yang lain menyatakan bahwa menunaikan ibadah haji untuk orang yang sudah meninggal dunia diperbolehkan. Hal yang sama dikemukakan oleh ats Tauri, Ibnu Mubarak, Ahmad, Syafi'i, dan Ishak," tulis Sayyid Sabiq dalam buku Fikih Sunnah Jilid 3.
Kewajiban untuk menggantikan ibadah haji tersebut dikenakan kepada ahli warisnya. Mengenai hal ini, ditemukan perbedaan pendapat di kalangan imam besar mahzab.
Salah satunya, Imam Mazhab Syafi'i yang tidak memperbolehkan badal haji bila dilakukan oleh orang yang belum menunaikan haji untuk dirinya sendiri. Bila ia melakukan haji, maka haji tersebut terhitung untuk dirinya sendiri.
Landasan haditsnya dikutip dari Bulughul Maram oleh Ibn Hajar Al-Asqalani yang berbunyi,
عَنْ اِبْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهُمَا، أَنَّ اَلنَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم سَمِعَ رَجُلًا يَقُولُ: لَبَّيْكَ عَنْ شُبْرُمَةَ. قَالَ: مَنْ شُبْرُمَةُ؟ قَالَ: أَخٌ أَوْ قَرِيبٌ لِيْ. قَالَ: حَجَجْتَ عَنْ نَفْسِكَ؟ قَالَ: لَا. قَالَ: حُجَّ عَنْ نَفْسِكَ، ثُمَّ حُجَّ عَنْ شُبْرُمَةَ. رواه أبو داود والدار قطني والبيهقي وغيرهم باسانيد صحيحة
Artinya: Dituturkan pula darinya Ibnu Abbas RA bahwa Nabi SAW pernah mendengar seseorang berkata, "Laibaika dari Syubrumah." Beliau bertanya, "Siapa Syubrumah?" Ia menjawab, "Saudaraku." Lalu beliau bersabda, "Apakah engkau telah berhaji untuk dirimu sendiri?" Ia menjawab, "Belum." Beliau bersabda, "Berhajilah untuk dirimu sendiri, kemudian berhajilan untuk Syubrumah." (HR Abu Dawud dan Ibnu Majah).
Sementara menurut Imam Mahzab Hanaf memperbolehkan badal haji https://www.detik.com/tag/haji-badal dilakukan oleh orang yang belum menunaikan haji. Hal itu bersandar pada hadits yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas,
كَانَ اَلْفَضْلُ بْنُ عَبَّاسٍ رَدِيفَ رَسُولِ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم. فَجَاءَتِ اِمْرَأَةٌ مِنْ خَثْعَمَ، فَجَعَلَ اَلْفَضْلُ يَنْظُرُ إِلَيْهَا وَتَنْظُرُ إِلَيْهِ، وَجَعَلَ اَلنَّبِيُّ - صلى الله عليه وسلم - يَصْرِفُ وَجْهَ اَلْفَضْلِ إِلَى الشِّقِّ اَلْآخَرِ. فَقَالَتْ: يَا رَسُولَ اَللَّهِ، إِنَّ فَرِيضَةَ اَللَّهِ عَلَى عِبَادِهِ فِي اَلْحَجِّ أَدْرَكَتْ أَبِي شَيْخًا كَبِيرًا، لَا يَثْبُتُ عَلَى اَلرَّاحِلَةِ، أَفَأَحُجُّ عَنْهُ؟ قَالَ: نَعَمْ. وَذَلِكَ فِي حَجَّةِ اَلْوَدَاعِ. مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ وَاللَّفْظُ لِلْبُخَارِيِّ
Artinya: Hadits Fadhal Ibn Abbas RA, bahwa seorang wanita dari suku Khas'am bertanya kepada Rasulullah SAW, "Ya Rasulullah, kewajiban haji yang difardhukan Allah atas hamba-hambanya bersamaan dengan keadaan bapakku yang telah rua renta hingga tak sanggup lagi untuk berkendaraan. Bolehkah aku haji atas namanya?" Rasulullah SAW menjawab, "Boleh. Peristiwa itu terjadi pada haji wada'," (HR Muttafaq'alaih).
sumber : https://www.detik.com/edu/detikpedia/d-6162007/badal-haji-untuk-orang-yang-sudah-meninggal-dan-dalilnya
Copyright © 2023 PT. Riyadhul Jannah Amanah